Senin, 23 Desember 2013

Hujan, Banjir, Aku dan Ibuku

Hari ini hujan lagi
Sama seperti beberapa hari belakangan
Udara dingin selalu mendekap tidurku
Dalam perisai kalbu yang sebenarnya mulai rapuh
Tetap aku tegarkan untuk selalu berdiri

Menggapai jaket tebal dan selimut pemberianmu
Wanginya masih sama, tak pernah berubah
Walau sekarang aku tahu, rambutmu tak sehitam dulu
Dulu aku berlari ke dalam pelukmu ketika kudengan gemuruh
Hangat tubuhmu membuatku teduh
Namun aku tahu, badanmu tak sekokoh dulu

Aku benci hujan yang datang terlalu berpadu
Karena saat itu, kita harus siapkan diri agar genangannya cepat berlalu
Aku benci jika hujan itu membawa banjir dalam rumah kita
Karena saat itu, kita harus siap merasakan dinginnya hari yang menggenangi kaki
Aku benci jika banjir tiba
Karena saat itu, aku lihat engkau terlalu lelah untuk membersihkan rumah kita

Apakah di sana hujan seperti di sini, Ibu?
Aku khawatir kakimu tidak lagi hangat untuk manahan genangan air
Aku khawatir badanmu terlalu rentah untuk bersih-bersih rumah

Ini adalah sepenggal cerita kita
Antara hujan, banjir, aku dan dirimu Ibu


Denpasar, Penghujung tahun 2013
saat musim hujan






Jumat, 15 November 2013

AKU, KAMU DAN HUJAN

Aku berlabuh di dermaga pulau kecil ini
Kulangkahkan kaki hanya untuk sebuah asa
Terik matahari selalu memberikan bayangan akan masa lalu
 Namun aku selalu pandang kedepan

Kamu adalah berkas cahaya yang menyayat hatiku
Mengukir polos pada jantungku
Matahari yang senantiasa memberikan cahaya putih
Sejuk yang menyirami dengan embun

Detik jam terus memburuku
Aku tak pernah berhitung satu satu
Namun keputusan sudah dijatuhkan
Sisa waktu tak lama lagi

Duduk di bawah siraman sinar senja
Kau disampingku
Menatap mentari yang semakin ditelan samudera
Genggam tanganku basah

Titik hujan jatuh satu per satu
Kita tetap bertahan
Duduk hingga mega usai
Aku memelukmu

Aku harus pergi
Kapal yang sedari tadi menunggu telah bersiap angkat jangkar
 Aku akan pergi
Merentas jalan yang telah aku goreskan

Ini adalah hujan pertama yang kita rasakan bersama
Cerita semusim
Antara aku, kamu dan hujan

Senin, 11 November 2013

MUSIM HUJAN

Derai hujan kerap menyapa belakangan ini
Aku rasakan basah dalam sela daun jendela
Bias rintik hujan tergambar nyata pada kaca jendelanya
Bau tanah yang lama gersang menelusur masuk dalam rongga

Ini bukan pulau tanpa hujan sayang
Ada kalanya matahari sangat menyengat
Namun, seperti yang kau rasakan hari ini
Panasnya hari luluh sekejap dibasuh hujan

Tatapan matahari tajam menghujam
Sapalah cahayanya
Kecup bibirnya dan dekaplah erat
Karena esok kau tak akan pernah tahu ia masih tetap akan terik atau basah

Denpasar, Awal Musim Hujan 2013
Abdullah Chepa Al-Harits

Selasa, 24 September 2013

KIRAN

dimana Kiran?
dimana berkas sinar yang pernah aku tanam disudut taman itu?
apakah aku tersesat?
sehingganya semua mata tidak dapat melihat dan telinga ini hanya sayu mendengar

dimana Kiran?
dimana tetes embun yang pernah aku curahkan dari berkas daun sehabis kelam?
apa dia bersembunyi?
dia memang datang dari negri antah berantah
namun sudah kusimpan selendang terbangnya agar tidak dapat kembali ke khayangan

dimana Kiran?
aku pandangi sepotong bulan yang hampir tertutup kelam itu
namun angin membiaskan kabut begitu cepat
seolah masuk dalam kubangan hitam, bintang mengalah untuk menutup malam

oh...
dimana Kiran?
hingga fajar datang aku masih termanggu memandang cakrawala
hingga akhirnya sang surya beradu ke awan
aku benci matahari yang menghapus jejaknya
membuatku harus kembali ke sarang dan mengunci pintu rapat-rapat

Minggu, 28 Juli 2013

Bunda, Aku Ingin Pulang

Sama seperti malam-malam sebelumnya, langit malam di Pantai Kuta dipenuhi pendar bintang. Ramai bayangan manusia menyapaku ditemani sinar dari rembulan. Mereka lalu lalang di trotoar yang sudah berhenti menjerit karena sudah renta. Aku kadang lupa jika ini adalah tanah airku. Semua terlihat sangat berwarna. Mereka berbicara dengan suara dan bahasa masing-masing yang sangat tak ku mengerti. Aku sudah lelah memandang deru ombak yang tak kunjung menutup mata. aku putuskan untuk pulang.

Lalu lintas malam tak begitu padat, namun tetap membosankan dengan menu utama besi-besi beroda yang beriringan. Aku berhenti sejenak di warung kopi yang menawarkan surga, katanya. membeli secangkir kopi seharga sepersepuluh ekor kambing. Sebenarnya aku tak menyukai kopi. Hidup ini semakin terasa pahit saat aku seruput teguk demi teguk kopi itu. Dari lantai dua gedung warung kopi yang katanya kelas dunia ini, aku memandang setumpuk kekesalan jalan raya yang bercampur amarah lampu merah. Tanpa terasa Coffee late hitam di cangkir sudah dingin dan membeku. Aku tinggalkan tanpa setegukpun aku rasakan.

Aku lelah,
Tapi aku tak mau berkeluh kesah.
Bosan dengan semua kekesalan kota yang telah aku telusuri kemolekannya.
Malam belum terlalu larut.
Bahkan para pencari sinar malam baru akan bergegas berhamburan.
Mungkin aku rindu Bunda.
Aku rindu seteguk cerita yang sering ia dendangkan.
Aku putuskan untuk istirahat dan memejamkan mata.
Besok adalah perjalanan panjang melintasi pulau-pulau.
Pasti akan sangat melelahkan bagiku.
Bayanganku menerawang saat senyum itu menyapaku.
"dia ucapkan selamat malam"

Jumat, 26 Juli 2013

Garis-garis Kecil di Musim Kering


Aku adalah bait-bait kata yang engkau ucapkan saat mentari mulai meninggi, seperti syair yang didendangkan saat senja dari ribuan abad lamanya. Kembalilah kepadaku saat kau lihat bulan telah enggan bersinar.

Aku akan terus duduk di depan kertas-kertas putih yang bertumbuk menjadi berkas kehidupan. Kadang aku menggaris lurus sekali, sempat pula garis lengkung dan gerigi yang tercipta.

Seandainya engkau tahu bahwa aku hanyalah daun kering yang enggan gugur saat musim kering. Aku terus bertahan dalam ketiadaanku mencoba menggapai langit basah itu. Hanya mampu memandang embun yang bermain bersama pelangi. Aku rasa tak ada embun saat musim kering. apa aku berkhayal?


Sabtu, 01 Juni 2013

Sisa Rintik Hujan

Penghujung hari dibulan Mei
Aku mendengarkan nyayian hujan yang berlahan pudar
Jejak luka yang kau tebarkan terbang bersama embun
Menyisakan bekas rona pucat pasih

Waktu matahari memicingkan sinarnya dipagi itu
Aku terpanah akan sinarnya
putih berbalut biru awan
Dibisakan atmosfir bumi yang tua renta

Tertegun aku
Pelangi pagi membelah langitku
Awal Juni yang menyiratkan tanda tanya
Apakah kapalku siap berlayar kembali

Berlari aku menuju dermaga yang bising karena perbincangan tembok dan tali tambang
Namun tak terlihat sekapal pun yang berlabuh
Apa aku bermimpi?

Aku rasa begitu...

Abdullah Chepa Al-Harits
Denpasar, June 1st, 2013

Jumat, 08 Februari 2013

Antologi Puisi - Prosa Lirih (50 Penyair Indonesia) dan Cerpen (20 Cepenis Indonesia)

akhirnya tahun 2013 bisa juga ngeluarin karya untuk dinikmati orang banyak dalam bentuk buku
bagi temen2 yang minat beli hubungi aja aq ya..

Fb: Abdullah Chepa Al-Harits