Selasa, 31 Juli 2012

Senja Pelabuhan Cinta


Sepandang pada matahari
Cahaya putih merangkul jiwa
Terselip sinar diantara sela jari
Kala hitam menjemput malam
Aku disini berusaha memeluk bintang
Hanya untukm
Angin tak akan bersinar
dan,
Bulan belum kan berbisik

Udara, keringat dan malam bernyanyi riang
Bulan telah bosan membaca nada
Tak berarti cintaku padam
Hanya karena kau katakan pelangi itu jingga
Cintaku bersiap untuk berlabuh
Senja membaca karang dan ombak
Saat pelabuhan karam dalam nestapa

Jalan masih sangat panjang
Begitu pula sajak cinta ini
Beribu kata tak terurai mencengkram jiwa
Kisah ini berharap tak asa
Padamu jua kembalinya jangkar emas
Pelabuhan yang tak kenal lelah
Akan segera kuselesaikan sampan ini
Untuk menuju samudera cinta

Senin, 30 Juli 2012

Sekeranjang Parsel Untuk Bunda

Masih ingat dalam pekat
Setetes Mutiara Mengalir dari matamu
Saat burung terbang dari sangkar
dan
Boneka kecil yang kau rajut merenda asa

Bunda,
Pelukmu yang mampu hangatkan jiwa
Katamu pelipur lara
Air mata yang kering dibalik bantal
Aku kemas hanya untukmu
Rindu ini kusimpan rapat
Karena takut hilang dalam ombak samudra

Sekeranjang parsel telah aku kirim lewat jasa terpercaya
Tak lama lagi mungkin akan tiba
Air mata dan rindu
Telah ku bungkus dengan kasih
beserta pita yang dulu sering kau gelangkan ditanganku
Aku harap kau bahagia saat membukanya

Minggu, 29 Juli 2012

Air Mata Hari


Indonesia raya, merdeka, merdeka, hiduplah Indonesia raya…

Secarik kain berwarna darah dan tulang melambai lusuh diujung rapuh tiang bambu. Sudah berpuluh tahun lamanya pusaka kebanggaan kami itu tak pernah digantikan. Kepakannya lunglai menggambarkan usia. Dengan segenap rasa bangga, tangan-tangan mungil ini memberi hormat. Tak ada perlengkapan upacara pada umumnya. Tak ada topi ataupun dasi menghiasai seragam kumal yang melekat di badan ini. Jari kaki penuh kudis bemain dengan kubangan air lumpur mengikuti hentakan lagu kebangsaan yang sengaja diciptakan untuk meninabobokkan. Dan saat terjaga bumi telah hilang setengah mengembun dalam mega.

Sejauh mata memandang. Terlihat hanyalah sapaan Bukit Barisan seperti buntut sapi yang penuh koreng karena telah mengering. Anak sungai membelai hutan. Hijau hanya mampu mengalunkan simponi gelap tawa. Bermimpi aku akan sebuah istana ditengah hijaunya hutan rimba. Gubuk yang hampir rubuh di pucuk bukit ini adalah surga kami. Dimana peri dan pelangi dilipat dalam lembaran pusaka rombeng yang sudah lelah bercerita.

Wahai bapaknya sumber ilmu pengetahuan. Engkau yang duduk di kursi penentu kebijakan. Aku ingin terus menyaksikan butiran air hujan yang jatuh karena embun telah tiada. Merentas zaman membelah dunia mencabik-cabik berkas cakrawala. Tangis ini sudah kering berkeluh kesah. Sejarah bumi renta akan tersimpan dalam kantung baju yang robek sebelah. Dalam nurani tersimpan asa menggapai matahari. Tolong, jangan kau padamkan pelita ini

Lasmini


Sinar sepotong bulan dan gemintang mulai menyinari
Polesan tebal bedak dan gincu merah menghiasi pucat wajahku
Hidup ini begitu berat bagiku teman
Terlahir dalam kubangan payau
Apa aku masih punya hak untuk tersenyum?
Menantang dinginnya malam yang membelai belahan pahaku
Gelapnya badai terus menghujam tubuh
Guruku adalah persimpangan jalan
Kenal aku,
Lorong-lorong dan kembang yang tertanam disetiap sudut jalan
Aku pun tertawa
Tawaku memecah hitamnya butiran hujan
Hidup ini telah merajamku teman
Aku lelah
Aku menangis
Semua kalah dengan selipan lembaran-lembaran rupiah di behaku
Apa aku kalah pada kehidupan?
Saat semua orang berjalan, aku tidak diberi kekuatan
Apa aku harus pasrah?
Inilah jalanku
Lasmini seorang kembang jalanan

BIRU

kala sang malam mendekapkuku dalam sepi
Saat pertama kali ku baca sajakmu
Aku mengerti dengan pasti
Kau masih di situ
Meniti buih-buih kehidupan
Melangkah gontai dan galau
dalam merangka asa dan rasa
antara liku-liku dan rekahan cinta

Kawan tahukah engkau
Di antara ribuan sahabatmu
mungkin...
Akulah yang mengerti
Setiap untaian kata dari lirik-lirik biru puisimu
yang terpahat lekat di antara luka-luka dan pedihnya cinta