Jumat, 31 Agustus 2012

Kuda Perang Bermata Api

Kuda-kuda yang berlarian melintasi serpihan api
Bulu-bulunya terbakar
Bau gosong semerbak sepanjang jalur berbatu

Kuda-kuda yang berlarian melintasi serpihan api
Otot-otot dan tulang besi
Membentuk segerombolan anak panah Ramayana

Hujan turun dibalik bukit
Lukisan membentuk kubangan air
Berhenti sejenak
Bermain air bak sekumpulan kerbau

Hujan turun dibalik bukit
Mengalir menderu membasuh rerumputan
Peta jalan terhapus debu
Tak tahu kemana jalan pulang

Perang sudah usai saat gong perdamaian diperdengarkan
Goresan pedang sudah mengering
Bercak darah telah menjadi lukisan mozaik kehidupan
Rindu akan kampung halaman

Aku mendengar seseorang memanggil namaku
Jelas suara yang dulu sering mengerang
Tak berubah sedari dulu
Matanya masih tetap memancarkan api kehidupan

Jumat, 24 Agustus 2012

Mimpi dibawah Pohon Jambu

Siang itu genap seminggu engkau pergi 
Meninggalkan bercak biru disisi hatiku 
Demi asa yang tak pernah aku tahu 

Setelah seminggu kau pergi 
Udara menderu menyerbu 
Kepalan angin menghujam dalam mimpi 

 Ingatkan aku jika matahari mulai bersembunyi 
Saat dulu kau selalu ragu untuk menentu 
Sebatas bayangan yang diberikan rembulan 
Kau santap habis dengan keraguan 
 
Bangunkan aku jika tidurku terlelap 
Matamu tajam menghujam matahari 
Bias pelangi hanya membuaiku untuk kembali bermimpi 
Kau selalu takut untuk memejamkan mata 

 Kucuran keringatmu membawa langkah melintasi bukit 
Panorama yang membungkus sepi saat kita bersila 
Bincang terekam dalam buah-buah jambu yang berguguran 
Ulat bersemi dalam buah jambu saat musim hujan 

 Panjatmu bak kera yang kelaparan 
Kau jatuhkan kekepalaku saat aku terlelap 
Dibawah pohon jambu mimpiku kau lukis jadi kelam

Saat aku terjaga
Kau telah pergi 
Meninggalkan segunung buah jambu 
Dan dari sanalah, daun-daun berguguran

Senin, 06 Agustus 2012

Tiga Cinta Dalam Semangkuk Sup


Hujan turun hari itu
Bias jendela basah oleh embun
Aku mencium wangi rempah
Dari panci di atas kompor
Hangat jahe, merica dan pala bercinta
Uapnya menyeruap keseluruh rumah

Hujan masih turun dengan deras
Kau seduh sup kedalam mangkuk
Sajikanlah kehadapanku
Yang duduk terpaku dimeja makan
Supmu tak lagi sehangat saat diatas panci
Tak sayur ataupun daging didalamnya

Hujan masih saja tak kunjung reda
Kau menatap jendela
Sama seperti saat aku menanti sup hangatmu
Kemudian kau membuka pintu
Mempersilahkan seorang pria untuk masuk
Pria tanpa nama dan rupa

Hujan masih brutal menghujam bumi
Begitupula supmu yang telah meracuni tubuhku
Untuk kedua kalinya
Kau seduh sup kedalam mangkuk
Begitu terkejutnya aku
Sup itu kau berikan kepada pria itu

Sabtu, 04 Agustus 2012

Kesatria Padang Senja

Aku bukanlah manusia
Terlahir dari ketidakberdayaan
Kepasrahan dalam menelan dusta
Tersimpan dalam bayangan

Aku bukanlah manusia
Lahir dari kebohongan kaleng rombeng yang berkarat
Menyelam dalam kolam kenistaan
Menyedot tinja dalam dubur kepalsuan

Teriakanku memecah batas kepasrahan
Tangisku menghanyutkan sampan ke pulau derita
Aku bukanlah manusia
Hanya sebuah ketiadaan

Rahim hanya tempat untuk beradu dalam kabut
Nyawa ini membuatnya berguna untuk sesaat
Aku bukanlah manusia
Hanya secuil penyesalan

Aku adalah kesatria
Yang lahir dari padang rumput ditepian senja
Kobaran sinarnya menyendirikan
Saat  terbuang bersama janin merah yang berdarah

Kamis, 02 Agustus 2012

Lelaki yang Mencintai Bintang


Setiap kali rintik hujan penyapu bumi, aku selalu percaya bahwa pelangi bersiap membuang jejak di bumi.
Jingga nila dan ungu membalut sunyi dalam remang lembayung.
Aku bukanlah lelaki yang memuja pelangi dan berharap bertemu bidadari saat mereka mandi.
Bukan pula prajurit dewa yang berhiaskan pedang pelangi.

Hitam menjauhi kelam saat aku mulai mencintai matahari. 
Sinar putih yang tak pernah pupus walaupun bidadari membekap mataku dengan mejikuhinibiu. 
Kau tahu teman. 
Adakalanya matahari bersembunyi dalam mega dan enggan bersinar. 
Tepian matahari yang membawa kelam kepada hati membuat aku gunda untuk berlari. 
Retina mata tak dapat menangkap seberkas sinar yang membawaku berangan.

Aku berlari ke kota untuk bermain bersama gemerlap lampu taman. 
Lampu-lampu jalan belum mampu menemani saat malam tak kunjung memberikan cerah dalam sukma. 
Bulan pun terlalu muda untuk berbinar. 
Sinar bulan hanya mampu membuat remang saat aku terlelap dibawah dahan cemara.

Aku berlari ke hutan untuk mendapatkan sinar.
Dalam malam dan hitamnya hari, aku terus merentas galau. 
Saat kutanya bulan, jawabannya adalah bintang yang bersanding. 
Ternyata benar adanya bahwa bintang tak pernah takut untuk bersinar meski harus bersanding dengan bulan.