Kamis, 02 Agustus 2012

Lelaki yang Mencintai Bintang


Setiap kali rintik hujan penyapu bumi, aku selalu percaya bahwa pelangi bersiap membuang jejak di bumi.
Jingga nila dan ungu membalut sunyi dalam remang lembayung.
Aku bukanlah lelaki yang memuja pelangi dan berharap bertemu bidadari saat mereka mandi.
Bukan pula prajurit dewa yang berhiaskan pedang pelangi.

Hitam menjauhi kelam saat aku mulai mencintai matahari. 
Sinar putih yang tak pernah pupus walaupun bidadari membekap mataku dengan mejikuhinibiu. 
Kau tahu teman. 
Adakalanya matahari bersembunyi dalam mega dan enggan bersinar. 
Tepian matahari yang membawa kelam kepada hati membuat aku gunda untuk berlari. 
Retina mata tak dapat menangkap seberkas sinar yang membawaku berangan.

Aku berlari ke kota untuk bermain bersama gemerlap lampu taman. 
Lampu-lampu jalan belum mampu menemani saat malam tak kunjung memberikan cerah dalam sukma. 
Bulan pun terlalu muda untuk berbinar. 
Sinar bulan hanya mampu membuat remang saat aku terlelap dibawah dahan cemara.

Aku berlari ke hutan untuk mendapatkan sinar.
Dalam malam dan hitamnya hari, aku terus merentas galau. 
Saat kutanya bulan, jawabannya adalah bintang yang bersanding. 
Ternyata benar adanya bahwa bintang tak pernah takut untuk bersinar meski harus bersanding dengan bulan.

Tidak ada komentar: