Setiap kali rintik
hujan penyapu bumi, aku selalu percaya bahwa pelangi bersiap membuang jejak di
bumi.
Jingga nila dan ungu membalut sunyi dalam remang lembayung.
Aku bukanlah
lelaki yang memuja pelangi dan berharap bertemu bidadari saat mereka mandi.
Bukan
pula prajurit dewa yang berhiaskan pedang pelangi.
Hitam menjauhi kelam
saat aku mulai mencintai matahari.
Sinar putih yang tak pernah pupus walaupun
bidadari membekap mataku dengan mejikuhinibiu.
Kau tahu teman.
Adakalanya matahari
bersembunyi dalam mega dan enggan bersinar.
Tepian matahari yang membawa kelam
kepada hati membuat aku gunda untuk berlari.
Retina mata tak dapat menangkap
seberkas sinar yang membawaku berangan.
Aku berlari ke kota
untuk bermain bersama gemerlap lampu taman.
Lampu-lampu jalan belum mampu menemani
saat malam tak kunjung memberikan cerah dalam sukma.
Bulan pun terlalu muda
untuk berbinar.
Sinar bulan hanya mampu membuat remang saat aku terlelap
dibawah dahan cemara.
Dalam malam dan hitamnya hari, aku terus merentas galau.
Saat kutanya bulan, jawabannya adalah bintang yang bersanding.
Ternyata benar adanya bahwa bintang tak pernah takut untuk bersinar meski harus bersanding dengan bulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar