Indonesia raya,
merdeka, merdeka, hiduplah Indonesia raya…
Secarik kain
berwarna darah dan tulang melambai lusuh diujung rapuh tiang bambu. Sudah
berpuluh tahun lamanya pusaka kebanggaan kami itu tak pernah digantikan.
Kepakannya lunglai menggambarkan usia. Dengan segenap rasa bangga, tangan-tangan
mungil ini memberi hormat. Tak ada perlengkapan upacara pada umumnya. Tak ada
topi ataupun dasi menghiasai seragam kumal yang melekat di badan ini. Jari kaki
penuh kudis bemain dengan kubangan air lumpur mengikuti hentakan lagu
kebangsaan yang sengaja diciptakan untuk meninabobokkan. Dan saat terjaga bumi
telah hilang setengah mengembun dalam mega.
Sejauh mata
memandang. Terlihat hanyalah sapaan Bukit Barisan seperti buntut sapi yang
penuh koreng karena telah mengering. Anak sungai membelai hutan. Hijau hanya mampu
mengalunkan simponi gelap tawa. Bermimpi aku akan sebuah istana ditengah
hijaunya hutan rimba. Gubuk yang hampir rubuh di pucuk bukit ini adalah surga
kami. Dimana peri dan pelangi dilipat dalam lembaran pusaka rombeng yang sudah
lelah bercerita.
Wahai bapaknya
sumber ilmu pengetahuan. Engkau yang duduk di kursi penentu kebijakan. Aku
ingin terus menyaksikan butiran air hujan yang jatuh karena embun telah tiada. Merentas
zaman membelah dunia mencabik-cabik berkas cakrawala. Tangis ini sudah kering
berkeluh kesah. Sejarah bumi renta akan tersimpan dalam kantung baju yang robek
sebelah. Dalam nurani tersimpan asa menggapai matahari. Tolong, jangan kau
padamkan pelita ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar