Minggu, 29 Juli 2012

Air Mata Hari


Indonesia raya, merdeka, merdeka, hiduplah Indonesia raya…

Secarik kain berwarna darah dan tulang melambai lusuh diujung rapuh tiang bambu. Sudah berpuluh tahun lamanya pusaka kebanggaan kami itu tak pernah digantikan. Kepakannya lunglai menggambarkan usia. Dengan segenap rasa bangga, tangan-tangan mungil ini memberi hormat. Tak ada perlengkapan upacara pada umumnya. Tak ada topi ataupun dasi menghiasai seragam kumal yang melekat di badan ini. Jari kaki penuh kudis bemain dengan kubangan air lumpur mengikuti hentakan lagu kebangsaan yang sengaja diciptakan untuk meninabobokkan. Dan saat terjaga bumi telah hilang setengah mengembun dalam mega.

Sejauh mata memandang. Terlihat hanyalah sapaan Bukit Barisan seperti buntut sapi yang penuh koreng karena telah mengering. Anak sungai membelai hutan. Hijau hanya mampu mengalunkan simponi gelap tawa. Bermimpi aku akan sebuah istana ditengah hijaunya hutan rimba. Gubuk yang hampir rubuh di pucuk bukit ini adalah surga kami. Dimana peri dan pelangi dilipat dalam lembaran pusaka rombeng yang sudah lelah bercerita.

Wahai bapaknya sumber ilmu pengetahuan. Engkau yang duduk di kursi penentu kebijakan. Aku ingin terus menyaksikan butiran air hujan yang jatuh karena embun telah tiada. Merentas zaman membelah dunia mencabik-cabik berkas cakrawala. Tangis ini sudah kering berkeluh kesah. Sejarah bumi renta akan tersimpan dalam kantung baju yang robek sebelah. Dalam nurani tersimpan asa menggapai matahari. Tolong, jangan kau padamkan pelita ini

Tidak ada komentar: