Selasa, 07 Oktober 2008

siluet cemara

SILUET CEMARA


Malam itu suasana tak seperti biasanya. Langit tampak agak murung, angin yang berhembus pun lumayan kencang. Terasa betul dinginnya malam yang menusuk-nusuk tubuhku. Tapi bagiku, setiap hari tak ada bedanya. Semuanya datar, tak ada perubahan yang berarti. Aku hanya bisa terpaku memandangi semua ciptaan yang maha dasyat ini.
Seperti malam-malam sebelumnya suasana pinggir pantai ini selalu ramai dengan pasangan muda-mudi yang memadu kasih. Entah apa yang mereka lakukan dan bicarakan ditempat seperti ini. Tak jarang aku saksikan mereka bercumbu mesra didekatku. Ada juga yang berpelukan hangat dibawah dedaunanku, tak jarang juga aku melihat orang berhenti dari kendaraannya untuk sekedar buang air kecil. Tapi aku tidak ambil pusing karena terlalu banyak hal yang harus aku pusingkan jika semua kejadian itu aku pikirkan.
 Malam belum terlalu lama bergumam. bintang dan bulan pun masih terlalu pagi untuk bersanding. Kulihat dua pasang muda-mudi yang mendekati bibir pantai. Genggaman erat tangan mereka membuatku iri. Mereka berkejaran, tertawa dan tersenyum. Namun sesekali kulihat mata mereka bertatapan, tatapan mata yang dalam dan penuh arti. Mereka berpelukan, pelukan hangat sekali. Sepertinya mereka tak merasakan lagi angin malam itu yang sangat dingin menusuk tubuh. Aku terus memperhatikan mereka, tapi tiba-tiba kulihat ada lagi sepasang muda-mudi yang yang tengah duduk tak jauh dariku. Suasana tegang terpancar dari mereka. Perhatianku pun tertuju pada mereka. Sepertinya ada hawa yang kurang mengenakkan. Ternyata dugaanku tepat. Seketika kemudian, sang gadis yang dari tadi hanya diam dan terpaku, tiba-tiba berteriak kearah lelaki. Entah apa yang dia katakan, sepertinya teriakan-teriakkan kekesalan dan caci-maki. Ia sepertinya marah betul pada lelaki itu. Ia masih saja berteriak dengan nada tinggi dan emosi. Namun tiba-tiba, tangan lali-laki itu melayang dan mendarat di pipi kiri sang gadis. Seketika ia terdiam. Sambil memegangi pipinya yang masih hangat akibat pukulan yang disampaikan lelaki itu, satu-persatu air matanya berurai. Tangisnya memecah sunyi malam yang dingin.
 Malam semakin pekat. Bintang dan bulan belum juga menampilkan wajahnya. Sekarang datang lagi dua pasang kekasih. Tampilannya agak beda. Sang gadis –entah masih gadis atau tidak- menggunakan rok mini berwarna hitam, dengan baju ketat yang sedikit menganga. Make up nya tebal, didukung dengan gincu merah dibibirnya. Sedangkan yang laki-laki, berambut cepak dengan jaker kulit dan kaca mata hitamnya.
 Sapertinya mereka mendekatiku. Aku takut, takut sekali. Aku berharap mereka jauh-jauh dari diriku. Akhirnya langkah mereka beralih kebatang sebelahku. Lega rasanya, aku menarik nafas panjang. Ku perhatikan mereka, mamang sangat aneh. Aku takut menyaksikan sesuatu yang tak pantas dilihat ditempat umum. Tapi aku tidak bisa mengalihkan pandanganku ke arah lain. Kulihat satu-persatu gerak-gerik meraka. Sampai saat ini belum ada yang mencurigakan. Semua masih sesuai dengan harapanku. Mereka berpegangan tangan. Namun sang lelaki berinisiatif mengubah arah duduknya . dan mereka sekarang sudah dalam posisi berhadapan. Mereka berpandangan. Tatapan mata mereka seakan penuh dengan kode-kode rahasia yang tidak aku ketahui.
 Lelaki itu mendekatkan mukanya kemuka sang gadis. Sang gadis hanya diam menunggu gerakan laki-laki itu. Sekarang muka mereka dekat sekali hingga bibir mereka hampir bersentuhan. Tapi, tiba-tiba saja hujan turun. Akhirnya mereka berinisiatif untuk berteduh. Laki-laki itu menarik tangan sang gadis mencari tempat untuk berteduh. Mereka mendekatiku, semakin mendekat dan akhirnya mereka berteduh dibawah dedaunanku. Oh, tidak, mimpi apa aku semalam. Pikiranku sudah menerawang. Aku takut mereka berbuat yang tidak-tidak. Jika saja mereka melakukannya. Aku turut berdosa karena ikut menyukseskan kegiatan mereka. Mereka masih berteduh dibawah dedaunanku. Lelaki itu berdiri sambil memeluk erat sang gadis dari samping. Gadis itu hanya bisa terdiam, sepertinya ia kedinginan. Terlihat dari bibirnya yang gemetaran. Laki-laki itu masih memeluknya. Dan sekarang pelukkan itu semakin erat. Dan posisi mereka pun sudah berubah. Dipeluknya gadis itu dari belakang, erat sekali. Aku seakan-akan merasakan kehangatan mereka.
Cukup, teriakku. Cukup seperti ini saja jangan ada lagi adegan yang semakin panas yang dapat membuat aku terbakar. Aku tak mau menanggung dosa yang tidak aku perbuat. Namun mereka tidak mendengarkanku. Mereka semakin memanas, sekarang mereka telah berhadapan dan bercumbu mesra. Aku yang tak kuasa melihatnya, hanya dapat memejamkan mata. Yang kurasa hanya dingin, karena hujan malam itu semakin deras.
***
 Pagi itu masih terlalu dingin. Embun yang menempel di daunku berkilauan akibat sinar matahari yang dipantulkannya. Kuhirup dalam udara pagi yang masih bersih. Seprtinya aku baru saja menjalani malam dengan mimpi yang sangat panjang. Entah apa mimpiku semalam, sepertinya sangat berkesan untuk aku lupakan begitu saja. Tapi aku benar-benar sudah tidak ingat apa yang terjadi semalam. Kupandangi pantai pagi itu. Pasir putih yang berkejaran dengan angin dan deru ombak yang syahdu membuat hatiku di pagi itu semakin segar. Tidak banyak orang pagi itu. Yang ada hanya beberapa nelayan yang baru pulang dari mencari ikan.
 Embun di daun-daunku sudah kering akibat sinar matahari yang semakin menyengat. Rasanya panas sekali. Pasir masih saja berkejaran dengan angin. Tapi laut saat itu berubah menjadi biru terang sekali, karena sinar matahari yang mulai meninggi. Aku hanya bisa memandangi semua karunia illahi ini, karena memang Cuma itu yang aku bisa. Tapi aku selalu bersyukur atas apa yang telah biberikan kepadaku. Dengan daun yang lebat dan pohon yang rindang ini saja adalah sebuat kesenangan tersendiri bagiku. Aku selalu berucap syukur walaupun tak ada yang tau. Tidak seperti manusia yang sombong dan tinggi hati itu. Untuk berterima kasih dan menyembahnya saja mereka masih enggan. Mungkin jika dulu aku diciptakan menjadi manusia, pastilah aku akan selaluh bersyukur dan menyembah padanya.
Deru ombak sedikit tak terdengar. Terdengar suara bising yang ternyata keluar dari mesin pemotong kayu. Sudah beberapa hari ini aku mendengarkan suara-suara bising yang tidak jelas itu. Tapi hari ini, sepertinya suara itu terdengar tidak jauh dariku. Kupandangi desekelilingku. Terluhat ada beberapa pekerja dengan mesin pemotong kayu yang besar sedang memotongi cemara teman-temanku. Aku sedikit terhenyak melihatnya, ada pakah gerangan yang terjadi di daerah ini. Mereka semakin bersemangat saat satu pohon telah tumbang, mereka kemudian memotong–motong pohon itu menjadi beberapa bagian. Mereka terus memotong, satu pohon, dua pohon, terus memotong. Aku semakin cemas, apakah aku akan bernasib sama seperti teman-temanku. Aku belum mau pergi meninggalkan suasana pantai yang syahdu ini. Aku belum siap pergi menghadap yang kuasa. Ada apa sebenarnyayang terjadi. Aku semakin panik ketita ada beberapa orang mendekatiku. Tapi yang datang bukan para pekerja itu. Mereka mengenakan pakaian rapi, rapi sekali. Beda sekali dengan pekerja yang memotong pohon-pohon itu tadi. Gaya bicarannya sopan dan ramah. Mereka menepi didekatku. Mungkin karena pohonku yang rindang dan daun-daunku yang hijau mereka mendekat dan berteduh dibawahku.
Aku tidak begitu mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Yang jelas aku tinggal menunggu giliran saja untuk ditebang seperti teman-temanku. Ternyata jalan di pinggir pantai ini akan dilebarkan, jadi mereka menebang beberapa pohon yang berada di pinggir jalan. Intinya aku termasuk kedalam pohon yang akan ditebang. Jika aku tidak salah dengar, mereka akan membangun jalan dan beberapa bangunan di pinggir pantai untuk keperluan wisata. Betapa sedihnya aku. Aku tidak akan lagi menyaksikan pasir putih yang berkejaran dengan angin. Tak akan lagi aku lihat laut biru yang memantulkan cahaya matahari.
Mungkin memang beginilah takdir kami. Jika sudah berguna maka hilang dan binasa. Aku pasti akan selalu tegar, karena memang inilah jalan hidupku. Semoga saja aku dapat berguna bagi orang-orang. Mungkin saja aku dapat berguna selain untuk tempat pasangan muda-mudi memadu kasih. Mungkin saja kayuku dapat bermanfaat bagi orang-orang. Semoga saja tanpa kehadiranku pantai ini masih sejuk dan segar. Semoga saja sang malam dapat bercerita tentang apa yang aku impikan.
Alat pemotong kayu itu semakin dekat denganku. Namun, karena hari sudah terlalu siang untuk berkerja, mereka beristirahat dan meletakkan alat pemotong kayu itu disebelahku. Astaga, gergaji-gergaji tajam inilah yang akan mengakhiri hidupku. Gumanku dalam hati. Para pekerja itu menepi mencari tempat untuk berteduh dari sengatan matahari. Mereka beristirahat ditepi pohon rindang dan hijau disebrang jalan sana. Iri rasanya melihat cemara rindang itu. Ia tidak perlu ditebang dan binasa. Ia telah tumbuh ditempat yang benar. Cemara itu tersenyum padaku, entah senyuman ramah atau senyum angkuh karena dia akan melihat aku ditebang para pekerja itu. Aku menyambut senyum itu sedikit malas. Lalu aku berpaling dari cemara itu dan para pekerja.
Aku termenung memikirkan nasib diriku yang tinggal sesaat ini. Kupandangi lautan luas yang biru itu. Siapa tau ada sesuatu yang belum pernah aku lihat. Sepertinya semua yang ada disini telah berulang-ulang kali aku lihat. Bagaimana tidak, setiap hari beginilah kehidupanku. Melihat butung-burung yang terbang bermain di antara deru ombak itu. Membuatku berfikir sejenak. Jika saja aku menjadi burung yang terbang disana, pastilah hidupku tak akan semuram ini. Terlihat satu ekor burung mendekati dahanku dan bertengger dirantingku.
Burung itu sepertinya tau kegundahan hatiku. Ia pun bertanya padaku.
 ‘Mengapa dengan dirimu cemara? Tampaknya ada sesuatu yang mengganjal hatimu’. Aku hanya diam. Sedih rasanya untuk menceritakan hal itu.
 ‘ Hidupku sebentar lagi akan akan berakhir di tangan alat pemotong kayu itu’ jawabku pelan.
Ia yang mengerti kegundahanku mencoba menghibur.
 ‘ Tidak usah takut, kita diciptakan memang untuk dipergunakan sesuai manfaat masing-masing’. Jelas burung itu diplomatis.
 ‘ Tapi, aku akan dipotong bukan untuk manfaat yang berarti. Mereka akan membangun jalan dan bangunan disini’. Ujarku sedikut ngotot.
Sang burung terus memberi semangat padaku.
 ‘ Manfaatmu sangat besar cemara’. Jawabnya
 ‘ Selain jalan ini akan bermanfaat bagi semua orang, toh kayumu akan mereka gunakan untuk berbagai keperluan’. Aku berfikir sejenak.
Apakah aku dapat bermanfaat bagi orang banyak. Tak lama obrolanku dengan sang burng, tiba-tiba para pekerja itu mendekatiku. Sang burung pun terbang menjauh. Dengan memberikan senyum semangat burung itu hilang dikejauhan.
 Aku mencoba mengerti. Dengan senyuman aku mencoba untuk tenang. Mulai dihidupkannya alat pemotong kayu itu. Terlihat tangan-tangan kekar para pekerja itu mengangkat mesin itu. Tampak secuil senyuman pada pemotong kayu itu. Aku hanya dapat pasrah. Aku hanya diam saat pemotong kayu itu mulai menyentuh bagian kulitku. ‘Semoga saja aku dapat bermanfaat’. Teriakku untuk terakhir kalinya.
***

Tidak ada komentar: